Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Februari 2015

PAUTAN SAYANG



“Parintang hati nan rusuah paubek hati nan ibo. Manantikan samo sungguah samo basaba malah kito”
                Aku yakin kalau aku dan kamu itu sama. Banyak kesamaannya. Kita sama-sama manusia, hamba Allah yang sama-sama dikasih nikmat yang sama, sama diberi akal biar bisa berfikir, sama-sama dikasih hati biar bisa merasakan hal yang tersirat maupun yang tersurat. Dan aku yakin lagi apa yang aku rasakan sama dengan apa yang kamu rasakan, soalnya masalah hidup itu itu aja, hmm masak sih,,? Gak percaya kan?
                Manusia bisa berpikir dan merasakan itu sebab karena adanya masalah, betul tak tu? Betul donk,, yang gak setuju boleh deng unjuk giginya..
                Analisanya begini,,  anak sekolah pasti bakal memakai otaknya berpikir disaat gurunya menuntut dia kudu hafalin pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut. Anak sekolah nan bandel dia bakal mikir gimana caranya bisa ngibulin gurunya karena sering datang terlambat ke sekolah, biar selamat dari hukuman. Seorang anak yang berbakti mikir tu bagaimana caranya membahagiakan kedua orangtuanya, orang yang butuh duit bakal mikir gimana caranya nyari duit, orang alim juga mikir gimana caranya ngedapatin ridho Allah biar selamat hidup dunia akherat, anak gadis atau bujang juga mikir gimana caranya ngedapatin jodoh yang diidamkan, semua kita mikir gimana caranya jadi orang yang berilmu, disegani, dipercaya, kaya, alim dll. Pokoke gimana jadi orang sukses, ya toh?! Pikiran kita sama toh?
                Perasaan, ya sama aja.. yang kita rasakan tu ada senang, sedih, bosan, sayang, benci, sakit hati, iri, takut, berani, galau,  rindu, sangat rindu, rindu lagi, lagi2 rindu serindu-rindunya. Heemm.... ya toh??
                Hanya saja kasusnya barangkali juga beda-beda tipislah,  barangkali hanya beda pelaku, dan tempat kejadian, juga alurnya doank. Kira-kira begitulah.
                Aku yang juga pernah menjadi pendengar setia para galawers, rata-rata masalah mereka itu sama loh, termasuk juga sama jika dibandingkan dengan masalah saia. Rata-rata sama lah.
                Jadi ya, coba deh perhatiin dengan seksama, filem2, sinetron2, novel2, ceritanya berada disekitar itu-itu aja, yang jadi pembeda tu cuman tokoh, tempat, dan alur.  Contoh kasus ada yang seperti ini, kisah kasih dua insan yang terhalang jarak jauh, saling suka, memiliki keinginan yang sama untuk bersatu. Tapi yang satu orangtua menjodohkan dengan yang lain, sementara yang satu lagi tidak bisa segera kembali pulang karena kondisi dan masalah yang dihadapi diperantauan, nah bagaimanakah akhir kisah tersebut, akankah mereka bersatu atau takdir masing2 bakal berbeda?
                Atau, kisah pemuda yang berambisi penuh untuk menuntut ilmu ke negri  jauh dari kampung halaman, meninggalkan ayah bundo sanak saudara dan famili. Banyak hambatan yang dihadapi sendiri, sementara itu banyak juga masalah yang dihadapi oleh keluarga dikampung sampai2 anggota keluarga yang meninggalpun tidak bisa dijenguk pulang, bagaimana jadinya nanti kalau dia pulang membawa segudang ilmu yang ia tuntut sementara keluarga dikampung sudah banyak yang berubah.
                Atau, kisah pemudi yang menginginkan seseorang akan datang menjemput utk membina rumah dan masa depan. Tetapi banyak yang datang selalu ditolak, batin yang tertekan dengan omongan kiri kanan, bahkan saudara dan orangttua sendiri pun ikut menekan, saat tidak seorang yang mengerti perasaannya? Manakah yang bakal ia turuti, mengikuti kata hati sendiri atau malah menyerah dan nurut dengan keinginan banyak orang..?
                Atau, kisah seorang pegawai kantor sekaligus guru, banyak tuntutan ini dan itu, hari2nya sibuk dengan pekerjaan yang waktu luangnya pun termakan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, sehingga sedikit waktu bahkan hampir tak ada waktu untuk mengunjungi orangtua, yang seharusnya dia menemani orangtua di hari tua mereka. Lalu bagaimanakah cara dia membagi waktunya?
                Ya gitulah contoh kasus, dan saia yakin banyak juga yang mengalami masalah semisal ini, kegalauan yang dilematis. Wuiwwwhh,,,
                Ya kan???!! Ya toh???!!
               
               
                05022015,rumahQ

Kamis, 19 April 2012

Memulai Sebuah Perubahan


Ingin menulis tapi ku letih sekali sangat bana. Bukan tangan yang letih bukan pula mata tapi kepala beserta isinya. Bukan tak tau apa yang mau ditulis hanya saja kebosanan ini tak sanggup kuperdayakan untuk waktu sekarang ini malahan aku yang terpedaya dalamnya. Yang akan kutulis tu buanyak sekali, bertumpuk2 menggunung dan melangit sampai juga nu ke angkasa raya terbang kemana-mana kaya ngebelah atmosfir berlapis-lapis, Menuju rasi bintang paling manisss….haaahhhh,,, terpaksa deh ngayal dulu sampai ingat iklan.
Tema kali ini tetap seperti biasa yang kucoret dalam diary, kuingin mencaci diri sendiri atas segala kebodohan dan kesia-siaan yang ku perbuat, penyesalan mungkin lebih tepat, bukan unjuk rasa tak terima taqdir tapi hanya sebuah bentuk protes kepada diri sendiri kenapa selalu saja tidak luput dari seabrek kesalahan. Boleh dibilang bagiku ini proses dalam mengevaluasi diri. Menyaring kesalahan2 yang tlah kulakukan dan membuangnya jauh2 dari kehidupan ini. Boleh dibilang ku hanya ingin mulai dari diri sendiri dulu, hanya ingin mempengaruhi lingkungan dan bukan terpengaruh, getoh..

Kita ( pake kataganti kita aja yah, aku dan kamu plural) terlalu banyak menggunakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk sesuatu di luar diri kita. Juga terlalu banyak energi dan potensi kita untuk memikirkan selain diri kita, baik itu merupakan kesalahan, keburukan,maupun kelalaian. Namun, ternyata sikap kita yang kita anggap kebaikan itu tidak efektif untuk memperbaiki yang kita anggap salah.
Banyak orang yang menginginkan orang lain berubah, tapi ternyata yang diinginkannya itu tak kunjung terwujud. Kita sering melihat orang yang menginginkan Indonesia berubah. Tapi, pada saat yang bersamaan,ternyata keluarganya 'babak belur', di kantor sendiri tak disukai, di lingkungan masyarakat tak bermanfaat. Itu namanya terlampau muluk.

Jangankan mengubah Indonesia, mengubah anaknya saja tidak mampu. Banyak yang menginginkan situasi negara berubah, tapi kenapa merubah sikap istri saja tidak sanggup. Jawabnya adalah: kita tidak pernah punya waktu yang memadai untuk bersungguh-sungguh mengubah diri sendiri. Tentu saja, jawaban ini tidak mutlak benar. Tapi jawaban ini perlu diingat baik-baik.
Siapa pun yang bercita-cita besar, rahasianya adalah perubahan diri sendiri. Ingin mengubah Indonesia, caranya ubah saja diri sendiri. Betapapun kuatnya keinginan kita untuk mengubah orang lain, tapi kalau tidak dimulai dari diri sendiri, semua itu menjadi hampa. Setiap keinginan mengubah hanya akan menjadi bahan tertawaan kalau tidak dimulai dari diri sendiri. Orang di sekitar kita akan menyaksikan kesesuaian ucapan dengan tindakan kita.

Boleh jadi orang yang banyak memikirkan diri sendiri itu dinilai egois. Pandangan itu ada benarnya sih jika kita memikirkan diri sendiri lalu hasilnya juga hanya untuk diri sendiri.Tapi yang dimaksud di sini adalah memikirkan diri sendiri, justru sebagai upaya sadar dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki yang lebih luas. Paham kira-kira ya..
Perumpamaan yang lebih jelas untuk pandangan ini seperti kita membangun pondasi untuk membuat rumah. Apalah artinya kita memikirkan dinding, memikirkan genteng, memikirkan tiang sehebat apa pun, kalau pondasinya tidak pernah kita bangun. Jadi yang merupakan titik kelemahan manusia adalah lemahnya kesungguhan untuk mengubah dirinya, yang diawali dengan keberanian melihat kekurangan diri.

Pemimpin mana pun bakal jatuh terhina manakala tidak punya keberanian mengubah dirinya. Orang sukses manapun bakal rubuh kalau dia tidak punya keberanian untuk mengubah dirinya.Kata kuncinya adalah keberanian.Berani mengejek itu gampang, berani menghujat itu gampang, tapi, tidak sembarang orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri. Ini hanya milik orang-orang yang sukses sejati.
Orang yang berani membuka kekurangan orang lain, itu biasa. Orang yang berani membincangkan orang lain, itu tidak istimewa. Sebab itu bisa dilakukan orang yang tidak punya apa-apa  sekali pun. Tapi, kalau ada  orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri, bertanya tentang  kekurangan itu secara sistematis,  lalu dia buat sistem untuk melihat kekurangan dirinya, inilah calon orang  besar.

Mengubah diri dengan sadar, itu juga mengubah orang lain. Walaupun dia tidak  mengucap sepatah kata pun  untuk perubahan itu, perbuatannya sudah menjadi ucapan yang sangat berarti  bagi orang lain.
Percayalah, kegigihan kita memperbaiki diri, akan membuat orang lain melihat  dan merasakannya.
Memang pengaruh dari kegigihan mengubah diri sendiri tidak akan spontan  dirasakan. Tapi percayalah, itu  akan membekas dalam benak orang. Makin lama, bekas itu akan membuat orang  simpati dan terdorong untuk juga  melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Ini akan terus berimbas, dan akhirnya seperti bola salju. Perubahan bergulir semakin besar.

Jadi kalau ada orang yang bertanya tentang sulitnya mengubah anak,cucu, ponakan,  sulitnya  mengubah istri, jawabannya dalam diri orang itu sendiri. Jangan dulu menyalahkan orang lain, ketika mereka tidak mau berubah. Kalau kita sebagai ustadz, kyai, jangan banyak menyalahkan santrinya. Tanya dulu diri sendiri. Kalau kita sebagai pemimpin, jangan banyak menyalahkan karyawan, lihat dulu diri sendiri seperti apa.
Kalau kita sebagai pemimpin negara, jangan banyak menyalahkan rakyatnya. Lebih baik para penyelenggara negara gigih memperbaiki diri sehingga bisa menjadi teladan. Insya Allah, walaupun tanpa banyak berkata, dia akan membuat perubahan cepat terasa, jika berani memperbaiki diri.Itu lebih baik dibanding banyak berkata, tapi tanpa keberanian menjadi suri teladan. Jangan terlalu banyak bicara. Lebih baik bersungguh-sungguh memperbaiki diri sendiri. Jadikan perkataan makin halus, sikap makin mulia, etos kerja makin sungguh-sungguh, ibadah kian tangguh. Ini akan disaksikan orang.
Membicarakan dalil itu suatu kebaikan. Tapi pembicaraan itu akan menjadi bumerang ketika perilaku kita tidak sesuai dengan dalil yang dibicarakan. Jauh lebih utama orang yang tidak berbicara dalil, tapi berbuat sesuai dalil. Walaupun tidak dikatakan, dirinya sudah menjadi bukti dalil tersebut.
Mudah-mudahan, kita bisa menjadi orang yang sadar bahwa kesuksesan diawali dari keberanian melihat kekurangan diri sendiri. Amien.

Catatan: Sebagian teks hasil plagiat. Jadi jangan cepat memberikan pujian, maklum ku lagi dalam proses pembelajaran. (^,^) jadi malu,, xixixi,,,,

Kamis, 01 Maret 2012

Sarjana oh sarjana






Wahyuni, S.ThI (InsyaAllah, amiinn..)
Berat nampaknya nama kalau sudah diiringi oleh beberapa huruf tersebut. Benar kata orang, tamat kuliah itu bukan perkara yang gampang dan sederhana. Tamat lalu diwisuda, bahagia? Iya tentu, hanya sesaat menurutku. Beberapa detik setelah perhelatan akbar itu akan datang beban baru yang menurutku tak tanggung-tanggung beratnya yang akan dipikul. Masyarakat luas sudah berada dalam genggaman tangan, tanggung jawab untuk mengabdi kepada nusa bangsa, dan dedukasi seorang sarjanawan/wati dipertanyakan saat itu.