Kamis, 03 Desember 2009

Puisi: Duka dalam Ketegaran

diam berayun disela kejenuhan
cari pesona ketika semua bersuara
hingga syair menggema
dalam bayangan fatamorgana

tentang seorang perempuan
dia hebat, cerdas dan tegar
mengikis hidup tanpa desah
di tepian rengkuhan waktu yang menghitam,
mengabur dalam genggamnya
dan semakin putih kian berkilau
bukan seorang penyulap masa
pun penyihir warna

pedang tajam bersilau cahaya
terpatri kokoh dalam ketulusan hati
yang siap menerkam bebuyutan
walau mereka datang dari sisi belakang
seperti bencana penghancur itu

dalam gelap pejaman
terukir sebait mantra suci
terurai bak pancaran api pergantian tahun
dia anggap taburan doa
diatas bingkisan permintaan
cinta terlahir dalam tasbih hatinya yang belukar

cerpen: Aku dan Bank, persembahan baktiku

“Assalamu’alaikum..”
Tak ada jawaban.
“Pak!”
Masih tak ada jawaban. Di tengah hiruk pikuk pengunjung, seseorang yang berseragam serba hitam yang lumayan necis itu tetap melayani para pengunjung yang memerlukan informasi darinya.
“ssstt….” Aku tak dihiraukan yang sedari tadi melambai-lambaikan tangan burusaha memberi isyarat bahwa aku ada di seberang pintu menunggu pintu terbuka. Barangkali karena porsi tubuh yang mungil berdiri dekat pintu persis di belakangnya, dia tidak menyadari kedatanganku.
Berhubung kecilnya tubuh ini, aku tak memiliki tenaga yang cukup untuk membuka pintu kaca yang bertulis dorong/push ini. Bapak yang suka senyum itu pun tak menyadari aku memanggilnya.
Tiba-tiba ada yang membuka pintu, seorang pengunjung yang baru keluar. Aku berhasil menyelinap masuk dan langsung mencolek penjaga pintu yang berlebel Narno Wiyanto terselip di dada kirinya.
“E..e… si adek datang lagi,” Sapanya bersama bibir yang berkembang manis melintang di bawah hidung mancungnya.