Kamis, 03 Desember 2009

cerpen: Aku dan Bank, persembahan baktiku

“Assalamu’alaikum..”
Tak ada jawaban.
“Pak!”
Masih tak ada jawaban. Di tengah hiruk pikuk pengunjung, seseorang yang berseragam serba hitam yang lumayan necis itu tetap melayani para pengunjung yang memerlukan informasi darinya.
“ssstt….” Aku tak dihiraukan yang sedari tadi melambai-lambaikan tangan burusaha memberi isyarat bahwa aku ada di seberang pintu menunggu pintu terbuka. Barangkali karena porsi tubuh yang mungil berdiri dekat pintu persis di belakangnya, dia tidak menyadari kedatanganku.
Berhubung kecilnya tubuh ini, aku tak memiliki tenaga yang cukup untuk membuka pintu kaca yang bertulis dorong/push ini. Bapak yang suka senyum itu pun tak menyadari aku memanggilnya.
Tiba-tiba ada yang membuka pintu, seorang pengunjung yang baru keluar. Aku berhasil menyelinap masuk dan langsung mencolek penjaga pintu yang berlebel Narno Wiyanto terselip di dada kirinya.
“E..e… si adek datang lagi,” Sapanya bersama bibir yang berkembang manis melintang di bawah hidung mancungnya.

“Seperti biasa Pak” ku buka tas mengeluarkan kotak pensil kain yang berhias manik-manik di kain yang hampir lusuh, dengan isi beberapa uang puluh ribuan.
“Ini, pak” ku pindahkan ke tangan besarnya yang mengembang di hadapanku. Si gemuk tinggi itu merundukkan kepalanya sejajar dengan kepalaku yang hanya setinggi bawah pinggangnya.
“Pintar…pintar..” Tangan itu membelai kepala sambil mengacak-acak rambutku.
“Terimakasih ya, Pak” kataku dan ia pun kembali tersenyum sebelum melangkah ke teller bank.
Jam yang tertempel di dinding ruang tunggu yang diapit oleh dua bingkai besar yang berjejer tulisan-tulisan di dalamnya, telah menunjuk angka dua teng. Aku harus cepat pergi dari tempat ini dan langsung pergi ngaji. Aku tak mau mencuci wc lagi seperti kemaren karena telat datang. Untung, gedung putih bis biru tingkat dua yang beratap gonjong, khasnya rumah adat orang minang ini, bertetanggaan dengan mesjid. Aku dapat langsung ke mesjid. Tak ada waktu untuk balik ke rumah, karena harus menghabiskan dua puluh menit. Tepat pukul empat baru aku pulang.
“Bak, guru ngaji adi bilang, uang bulanan naik lagi untuk bulan ini menjadi dua puluh lima ribu rupiah.” Suaraku memecah keheningan saat abak melepas lelah menikmati kopi di beranda gubuk reot, rumahku.
Abak diam, sepertinya ia sedang berfikir. Aku mencoba cari perhatian abak dengan memijit bahunya, pasti dia kelelahan seharian bekerja di kebun orang.
“Kenapa ya nak, disaat kita susah, ada-ada saja kebutuhan mendadak yang harus abak penuhi” Katanya sembari mengambil bungkus rokok yang ternyata tidak berisi. “Sudah uang sekolahmu baru naik, uang ngaji pun ikut-ikutan naik, hampir setiap bulan” lanjutnya.
Ibu merebut bungkus rokok dari tangan abak, “Makanya Bak, kita harus hematkan pengeluaran, termasuk ini” mengacungkan bungkus rokok kepada abak dan langsung membuangnya.
***
Seperti biasa, dua kali sebulan aku mengunjungi gedung kesayanganku, dan bertemu pak satpam menyerahkan beberapa lembar uang sepuluh ribu.
Sudah hampir empat belas bulan aku bersahabat dengan gedung ber-ac ini, dua kali sebulan aku ke sini, dengan bantuan Pak Narno penjaga pintu bank ini. Aku terdaftar sebagai nasabah bank ABCDE yang selalu melayaniku kapanpun aku mau, tepatnya aku menabung di tabungan haji.
Kedekatanku dengan Pak Narno berawal dari tekadku mewujudkan impian ibu. Meskipun rasa bersalah selalu menghantui gerak-gerikku, demi kebahagiaan ibu apapun akan kulakukan, termasuk melakukan dosa besar yang tengah kuperbuat. Aku bersyukur kenal dengannya, karena aku dibantu membuka rekening di bank ini, karena aku belum cukup usia untuk menabung sendiri.
Andai bapak itu tau, uang yang aku tabung adalah hasil kebohonganku kepada abak. Hampir setiap bulan aku merekayasa tentang uang SPP, uang pembangunan dan yang lainnya yang berhungan dengan keuangan sekolah. Sebenarnya sekolahku gratis, aku dapat beasiswa berprestasi itupun ada lebih untuk uang saku. Begitu juga keuangan mengaji, mana ada uang mengaji mencapai dua puluh lima rupiah di tempatku. Karena seribu alasanku, abak percaya begitu saja.
Akhirnya kuceritakan semua kepada pak Narno, karena tak sanggup menanggung sendiri. Alangkah terkejutnya dia, aku yang baru berusia sembilan tahun sudah bisa membohongi orang tua. Setelah kejadian itu, pak Narno tidak mau menolongku lagi sampai aku berkata jujur kepada abak.
Sudah dua minggu abak sakit, dua minggu pula abak tidak bekerja, dan hampir sebulan aku tidak mendatangi bank kesayanganku. Tanpa sepengetahuanku, pak ustadz datang ke rumah karena dapat kabar dari ibuk-ibu majlis ta’lim bahwa tukang kebun mesjid, abakku sakit.
Disinilah awal terbongkarnya rahasiaku.
Sepulang dari sekolah aku langsung ke rumah, (aku tidak ke bank lagi). “Buka bajumu!!” bentak abak. Badanku letih berjalan dari sekolah kira-kira empat kilometer, keringat mengalir basahi sekujur tubuh, perut yang lapar belum diisi apa-apa dari pagi, kaget luar biasa melihat abak.
“Cepat buka!” Ibu pun ikut membentak.
Aku diam, bingung. Ada apa dengan orang tuaku, terpaksa menuruti.
Dengan geram, sepucuk rotan mendarat berkali-kali di punggungku. Pikiranku terbang dalam kegelapan, rasa sakit mengantarku ke dalam tidur yang panjang.
***
“Selamat pagi, Pak! Apa betul ini rumahnya saudara Adi Mukhlas?” Sapa seorang tamu suatu hari datang ke rumah.
“Betul, saya bapaknya. Ada apa ya?”
“Saya Narno Wiyanto, pegawai bank ABCDE. Mengantarkan surat ini kepada bapak” sambil menyerahkannya dengan senyum yang terbias di wajahnya.
“Surat apa ini?” Tanya Abak penasaran. “O ya, sebelumnya kami mengucapkan selamat kepada Bapak karena anak bapak bernama Adi Mukhlas memenangkan undian karena dia telah menjadi nasabah kami di tabungan haji atas nama ibunya Asni, dan hadiahnya adalah gratis haji untuk satu orang lagi. Seandainya Adi memilih nama bapak, maka bapaklah yang akan berangkat tahun ini bersama ibu.”
“Masyaallah, Adi. Jadi uang itu untuk…..” Abak bersujud syukur, “Ampunilah hamba.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar