Selasa, 07 Juli 2009

Ayu's Birthday


AYU’S BIRTHDAY
Tulisan itu sangat jelas tertera karena ditulis dengan huruf tebal dan dicetak dengan enam belas times new roman.
Sudah hampir setahun ayu seorang gadis manis berdarah minang dan solo selalu mendapat paket dari Indonesia. Hal itu dilakukan oleh seorang ayah yang sangat menyayanginya. Semenjak perpisahan mereka delapan bulan yang lalu, ketika dia menamatkan sekolahnya di bangku aliyah setingkat SLTA dan Ayu dinyatakan lulus beasiswa ke luar negri tepatnya di Timur Tengah Kairo. Ayu berjanji kepada Ayahnya untuk selalu menelfon pulang minimal sekali setahun atau tepat pada ulang tahunnya.
Ayu rela meninggalkan ayah dan keluarga demi sebuah cita-cita menuntut ilmu di negri antah-berantah. Dia berjanji akan menamatkan S1-nya dengan cepat dan membawa segudang ilmu dari Kairo untuk menyiarkan dakwah di kampungnya, Solo, mengubah kebiasaan penduduk solo yang terlalu melenceng dari ajaran Islam sebenarnya, bahkan menyimpang dari al-Quran dan Sunnah. Karna demi keselamatan penduduk di masa depan, Ayah rela melepas Mbak yu sendiri mencari ilmu di negri seberang, meski masih ada rasa berat dalam hati berpisah dengan anak perempuan satu-satunya itu.
“Ayah..?” sapaku sambil menyentuh pundaknya.
“Eh kamu lek, bentar lagi semuanya beres” ujarnya.
Aku hanya menatapnya dengan segurat senyum kecil, Ayah tetap mengemasi barang-barang yang akan dipaketkan untuk Mbak yu dan tak pula tersembunyi kebahagiaan dari wajahnya yang siap mengirimkan paket yang berisi barang-barang dan makanan kesukaan mbak yu.
Aku sangat heran campur kagum melihat besarnya kasih sayang Ayah terhadap Mbak yu, setiap nafasnya selalu terucap nama anak gadis satu-satunya itu. Meski kadang rasa iriku kepada Ayah bermunculan, kenapa Mbak yu aja yang selalu jadi pikirannya sedangkan aku jarang sekali bahkan hampir tak ada. Tapi aku nyadar kok dan aku bisa maklum, Mbak yu yang cerdas selalu jadi kebanggaan Ayah, prestasinya seabrek dan tidak pernah menyusahkan Ayah. Dengan prestasinya dia mampu membiayai biaya sekolah sampai sekarang. Sedangkan aku??? Hanya aku yang menyusahkan Ayah. Aku tau Ayah berpikir bahwa akulah penyebab kepergian Ibu ke alam baqa disaat aku dilahirkan. Semenjak itu aku selalu menjadi beban bagi Ayah, walau itu semua tidak pernah terucap dari mulutnya.
Tahun pertama, lebaran pertama, ulang tahun pertama.
Ayah mengejar deringan telepon. “Ini pasti dari anakku” gumamnya. Mbak yu menelfon ayah dipagi buta sementara di Indonesia telah masuk waktu dhuha tepatnya sepulang ayah menunaikan shalat ied. Itu sangat membuat ayah berbinar-binar seharian di hari yang fitri ini. Mbak yu mengucapkan selamat hari raya dan memohon maaf lahir dan batin. Aku dan Ayah juga mengucapkannya tidak lupa mengucapkan selamat ulang tahunnya yang ke-19. Ayah berharap ketika ulang tahun ayu yang ke-23 nanti mereka akan merayakannya di Indonesia. Mbak yu berjanji kepada Ayah. “InsyaAllah, Yah.” Ucapnya. “Ayu hanya mengharapkan doa dari Ayah agar Ayu menjalankan studi ini dengan lancar.” Tambahnya.
Tahun kedua, lebaran kedua, ulang tahun kedua.
Ayu kembali menelfon pulang.
Tidak ada resah ataupun kemarahan dari Ayah. setidaknya itu yang kulihat dari raut wajahnya, meskipun Mbak yu telat seminggu setelah lebaran menelfon pulang. Malah dengan riang manis mengirim banyak barang dan makanan. Dan dua hari setelah Mbak yu menelfon, dipagi-pagi buta persis sehabis subuh, telepon Mbak yu menyapa Ayah berjam-jam. Entah apa yang dikatakannya pada Ayah, yang jelas sesudah percakapan itu Ayah begitu hebohnya menumpahkan kebahagiaannya sampai meloncat-loncat, berteriak kegirangan dan berkali-kali berucap “Alhamdulillah,,Ya Allah berkatilah anakku.” Dengan penuh pengharapan.
Ayah langsung menyuruhku mengantarkannya ke pasar dengan motor. Ayah belanja bahan-bahan masakan, setelah kutanya ayah menjawab bahwa kita akan mengadakan doa bersama dengan mengundang kiyai ke rumah.
Jelas aku semakin bingung apa yang dikatakan Mbak yu kepada Ayah tadi pagi. Curi-curi waktu aku tanya pada ayah dan ternyata Mbak yu memberi kabar gembira bahwa dia akan menunaikan ibadah haji tahun ini. Pantesan ayah begitu repot menyiapkan acara doa bersama ini.
Acara ini memang sudah biasa dilakukan oleh keluarga kami. Jika ada rezki yang berlimpah, kami selalu berdoa bersama dengan mengundang tetangga dekat makan bersama sebagai syukuran kami kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pemberi Rezki. Seperti disaat Mbak yu mendapat kabar gembira atas kelulusannya keluar negri, kami juga mengadakan syukuran yang sama. Ketika ayah sembuh dari penyakit jantungnya, ketika aku bisa kembali berjalan setelah sepuluh tahun lumpuh dan berhasil mendapat pekerjaan sehingga aku mampu membeli motor. Semuanya tak lepas dari rasa syukur kami.
Tahun ketiga, lebaran ketiga, ulang tahun ketiga.
Ayah begitu hebohnya menumpahkan penyesalan saat pagi harinya tidak bisa mengangkat telepon untuk mengucapkan selamat hari raya dan selamat ulang tahun, sambil menguraikan airmata.
Lebaran ketiga sejak kepergian Mbak yu, Ayah sudah menjual rumah demi melunasi hutang yang sudah lama tertunda pembayarannya. Ayah terpaksa berhutang kepada tetangga untuk membeli barang-barang yang dipaketkan ke Kairo sejak aku dikeluarkan dari pekerjaan karena lama bolos mengurus Ayah di rumah karena sakit-sakitan. Sekarang aku membuka usaha kecil-kecilan membuat martabak di depan rumah, dan hasilnya lumayan sehingga kami bisa mengontrak rumah petak dipinggir kota dan membeli obat ayah.
Tapi aku belum sanggup membeli telepon rumah ataupun telepon genggam. Jadi terpaksa tahun ketiga ini kami tidak mendapat kabar apa-apa dari Kairo.
Tiga bulan sesudah lebaran, tetangga kami memberi sepucuk surat.
“ Lek Khadri, betulkan nama lengkap kamu khadra’i?”
“Benar Buk, ada apa?”
“Ini ada surat Ibu bawa dari kantor desa buat kamu.”
Surat??? Pasti dari Mbak yu.
Dan ternyata benar. Langsung ku kasih tau Ayah. Betapa gembiranya dia, dan kubacakan isinya.
Selang beberapa menit aku selesai membaca tulisan-tulisan yang bergelayut dalam beberapa lembar HVS putih. Sebaris senyum melebar di bagian antara hidung dan dagu Ayah, pipi kiri dan kanannya berderet beberapa garis-garis kecil tanda telah lanjut usianya sehingga masa mengambil sebagian daging di pipi itu dan mengkeriputkan kulitnya. Lalu tiba-tiba dia termenung dan melebarkan selimut ke tubuhnya.
Dalam surat itu, Mbak yu menanyakan perihal kenapa teleponnya tidak bisa terhubung lagi ke Indonesia. Pada hari lebaran ketiga itu sebenarnya Mbak ingin menyampaikan sebuah keinginan. Seiring semakin sulitnya hidup di negri orang dan akhir-akhir ini beasiswa sulit sekali turun ke tangan, dia sudah mencoba mencari biaya sendiri akan tetapi di tahun ketiga ini biaya kuliyah semakin naik disamping dia juga harus membiayai hidup sendiri. Seseorang telah datang kepadanya untuk meminang. Dan dia meminta bagaimana pendapat Ayah tentang itu.
Dan jika Ayah membalas surat ini berisi persetujuan, Mbak yu akan pulang segera dengan pria berdarah asli Kairo yang meminang itu. Dan menyelenggarakan pernikahan di kampung.
***
Ayah begitu berseri-seri sepanjang hari menanti kepulangan anak tercinta. Bahkan dia sudah siap dari pagi-pagi buta. Tapi menjelang sore, tamu kami yang istimewa itu belum juga datang. Tiap kali aku menyabarkan Ayah, dia mengiyakan dengan rela sambil menyahut “Hari ini belum usai, lek. Masih ada nanti malam ‘kan? Ayah pasti sabar menunggu kok, Ayah cuma khawatir saja.”
Seharusnya jika dihitung dari jadwal keberangkatan Mbak yu, pesawatnya sudah mendarat dari tadi pagi. Tapi aneh sekarang Mbak yu belum datang juga.
Hingga malam Mbak yu tidak datang. Tiba-tiba HP baruku berdering memecah penantian panjang yang langsung kusambar, aku sangat yakin ini dari Mbak yu. Beberapa saat kubicara dengan penelepon yang aku yakin bukan Mbak yu karena suaranya beda, suara lelaki. Tak lama aku memberi tahu Ayah siapa yang menelepon.
“Yah, ini telepon dari calon menantu ayah Akhi Abdul. Mereka tidak bisa pulang hari ini.” Kataku sayu. Bahkan tahun ini, tambahku dalam hati.
“Nah lho! Kenapa begitu?”
“Mungkin ada kendala dalam pengurusan izin pulang di kedutaan.” Jawabku seadanya.
Esoknya saat seharian Mbak yu tidak datang, Ayah tetap sabar dan tidak tergambar rasa kecewa di wajahnya. Malah dengan semangat dia memintaku belanja ke pasar dengan daftar belanjaan yang begitu banyak untuk dikirim ke Kairo.
Tahun keempat, ulang tahun keempat, lebaran keempat.
Tak terasa sudah tiga tahun terlewati semenjak kepergian Mbak yu ke Kairo. Ayah sudah sehat, kembali dia menunggu kepulangan Mbak yu seharian. Saat mbak yu kembali tak datang. Ayah tetap sabar menanti seperti tahun sebelumnya. Seharian belanja barang begitu banyak makanan kesukaan Mbak yu dan bahan masakan. Kemudian sebagian untuk dikirim dan sebagian untuk mengadakan syukuran menyambut kepulangan anak gadis pujaan hatinya.
Telepon juga kembali tak bedering lagi. Ayah berpikir baik aja untuk semua ini, untuk penantian yang selalu tertunda, untuk pernikahan yang tiada kabar dan untuk kuliyahnya.
“Ayah tetap sabar menunggu mbak mu. Meski dia tak memberi kabar apa-apa.” Kata ayah suatu kali.
Akhir tahun keempat, masuk tahun kelima.
Mbak yu masih tak jelas kabar beritanya. Seharian tadi kami belanja lagi untuk dikirimi ke Kairo.
“Lek, ayo buruan berangkat nanti keburu sore! Nanti pos tutup lagi!” Aku kaget. Ajakan Ayah mengagetkan sekaligus menyengatku dengan begitu banyak nelangsa.
“Eh Yah, biar lek aja yang nge-posnya sendiri, ayah pasti capek karena dari pagi ayah terus ngepak-ngepakin semuanya sendiri, ya yah?”
Ayah mendengus, “Buat anakku aku nggak kan capek!” katanya keras kepala.
“Ayah, sekarang sudah sore, udara luar nggak baik untuk kesehatan Ayah, ntar ayah kebatuk-batuk lagi.” Terangku.
“Bener kamu sanggup sendiri?” tanyanya meyakinkanku.
“Bener, Yah.”
Bergegas kukemasi semua barang-barang itu sekenanya dengan mata berkaca-kaca hampir menganak lalu mengalir tak terbendung. Kuangkat kardus paket ini dan kuantar ke “warung” yang aku sewa di pasar untuk kujual kembali. Paket ini tidak akan pernah kubawa ke kantor pos, tidak akan dikirim, sama dengan paket-paket Ayah sebelumnya. Dari tahun ketahun dari tahun ketiga kepergian Mbak yu. Karena Mbak yu tidak kuliyah di Kairo lagi. Mbak yu telah meninggal tepat di hari kepulangannya bersama calon suaminya Akhi Abdul. Telepon seseorang kepadaku dulu telah mengabarkan berita duka ini. Pesawat yang ditumpangi Mbak yu gagal lepas landas ketika transit di Habsyah.
Pertengahan tahun kelima, lebaran kelima.
Ayah masuk UGD setelah semua rahasiaku terbuka. Aku ketahuan menjual kembali paket Ayah untuk Mbak yu. Jantung Ayah kembali membuat dia tak sadarkan diri.
Ulang tahun kelima. Tepat ke-23.
Tepat pada janji Mbak yu dulu untuk pulang membawa gelar S1. Aku sebatang kara. Ayah menyusul Mbak Yu.
Minggu, July 05th 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar